Rabu, 09 Januari 2008

Pernak-Pernik Perdebatan tentang “Ayat Pluralisme” Tafsir Al-Azhar Buya Hamka

(Bagian 1)

oleh Akmal Sjafril

assalaamu’alaikum wr. wb.

Pada tanggal 21 Nopember 2006, Ahmad Syafii Maarif menulis sebuah artikel berjudul Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah di kolom Resonansi surat kabar Republika. Inti ceritanya, Syafii Maarif dimintai penjelasan tentang tafsir ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah oleh seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso. Menurut sang jenderal, tafsir ayat tersebut penting untuk digunakan ketika menghadapi beberapa tersangka kerusuhan di Poso. Secara implisit, permintaan ini menunjukkan seolah-olah umat Islamlah pihak yang paling bersalah dalam konflik di Poso.

Beginilah kira-kira bunyi terjemahan ayat yang dimaksud:

Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 62)

Dalam artikel tersebut, Syafii Maarif mengutip kata-kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar sebagai berikut:
Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam
agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapatkan ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita’
(ujung ayat 62). (hal. 211)
Syafii Maarif ‘melengkapi’ kutipan di atas dengan paragraf berikut ini:
Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 Surah Ali Imran itu,
yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah
mengamalkannya. Dan syurga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi
kalau kita fahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi
maka pintu da’wah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama
fithrah, tetapi dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia. (hal.
217)
Dan untuk lebih menguatkan opini yang hendak dibentuk, dikutiplah paragraf di bawah ini:
Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa
yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja
Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari
Akhirat esok, karena menolak kebenaran. (hal. 218)

Dari kutipan-kutipan di atas, terlihat jelas beberapa poin opini yang hendak dibentuk, antara lain:
  1. Hamka berpendapat bahwa manusia yang beriman, apa pun agamanya, akan mendapatkan pahala jika berbuat baik. Opini ini sangat rentan untuk ‘dipelintir’ oleh orang-orang pluralis yang berpendapat bahwa surga bisa didiami oleh manusia yang beragama apa pun.
  2. Islam bisa dikenal dengan ‘nama lain’, sebagaimana pendapat Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa nama “Islam” dalam Al-Qur’an adalah pengertian generiknya. Dengan demikian, umat beragama apa pun bisa dikategorikan Muslim jika ‘berserah diri pada Tuhan’.
  3. Manusia tak berhak menciptakan ‘neraka’ di muka bumi. Pernyataan ini seolah menggiring pikiran pembaca untuk percaya bahwa konflik Poso berasal dari umat Islam yang berusaha menciptakan ‘neraka’ bagi umat lain. Klaim ini sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh kaum sekularis-pluralis-liberalis yang selalu menolak ‘klaim sesat’ dan semacamnya.

Hemat saya pribadi, kutipan-kutipan Syafii Maarif dalam artikelnya itu tergolong tidak bertanggung jawab. Kesalahan utamanya adalah karena kutipan-kutipan yang dicantumkan di dalam artikelnya tersebut menggiring pembaca pada opini yang salah. Seolah-olah Buya Hamka sependapat dengan kaum pluralis yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, dan bahwa umat beragama yang lain pun bisa mendapat ridha Allah SWT tanpa harus memeluk agama Islam. Padahal, tepat sebelum paragraf yang bercerita tentang neraka di atas, Hamka menuliskan :

Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani,
melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka orang yang mengaku
beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu
dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah
sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka
namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau
keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat
mereka kelak. (hal. 217)

Saya menyebutnya sebagai ‘paragraf kunci’, karena ia bisa menyelesaikan persoalan yang sedang dibahas ini dan mengisi ‘lubang-lubang’ yang lalai diisi oleh Syafii Maarif dalam artikelnya. Jika artikel ini dicantumkan, jelaslah bahwa Buya Hamka menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, namun menolak sepenuhnya ajaran pluralisme. Bagi beliau, Islam dan Non-Islam sangat berbeda. Bahkan dalam penjelasannya di atas, jelas bahwa beliau berpendapat bahwa siapa pun yang pernah mendengar dakwah Rasulullah saw. namun tak beriman padanya maka nerakalah tempat mereka kelak. Tentu saja, seperti penjelasan Buya Hamka sendiri, neraka itu bukanlah tempat yang diciptakan oleh manusia di dunia, melainkan di akhirat kelak. Tidak ada tuntunan dalam Islam untuk bersikap kasar pada umat lainnya, namun tidak ada alasan pula untuk bersikap mencla-mencle dan pura-pura tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Pada bagian kedua, kita akan lihat kekeliruan fatal lainnya dalam memahami penafsiran Buya Hamka tentang ayat ke-62 surah Al-Baqarah ini, sekaligus juga membongkar inkonsistensi para pengusung hermeneutika ketika menyikapi Tafsir Al Azhar secara umum.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Dengan izin penulis, dari http://akmal.multiply.com/journal/item/643/Pernak-Pernik_Perdebatan_Tentang_Buya_Hamka_Bag._1

Selasa, 08 Januari 2008

Apa Gunanya Tasawuf?

Apa Gunanya Tasawuf?

assalaamu’alaikum wr. wb.

Ya, apa gunanya tasawuf? Jangan marah dulu ya, karena pertanyaan ini sangat esensial bagi seorang Muslim dan harus diajukan sebelum mengambil sikap terhadap segala hal. Sebelum coba-coba merokok, harus tahu dulu gunanya merokok. Sebelum membeli mobil, harus berhitung dulu soal manfaat dan mudharatnya. Kalau memang tak ada gunanya, maka tak perlu ada pembahasan lagi. Sesuatu yang tak berguna sebaiknya ditinggalkan saja.Karena itu, bagi yang merasa penasaran atau mulai tertarik mendalami tasawuf, sebaiknya tahu dulu baik-buruknya, menimbang plus-minusnya, dan mempelajari seluk-beluknya secara sungguh-sungguh. Begitulah tuntunan Islam. Bahkan calon muallaf pun tak perlu disuruh cepat-cepat memeluk agama Islam kalau memang belum paham benar tentang Islam dan pernak-perniknya. Karena itu, melangkah dengan nol persiapan ke dalam dunia tasawuf adalah sebuah kebodohan yang amat nyata.

Apa gunanya tasawuf? Atau, kalau mau pertanyaannya ‘dipermudah’ lagi, bolehlah kita modifikasi menjadi: Mau apa ikut tasawuf?

Yang perlu disadari adalah perbedaan definisi yang amat tajam mengenai istilah “tasawuf” itu sendiri. Orang-orang yang mengaku menjalankan ajaran tasawuf memiliki perangai yang sangat berbeda, bahkan ada yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat. Ada yang tinggal di gubuk sederhana di puncak bukit terpencil, tapi ada juga yang sibuk dengan kegiatan sosial-politik, bahkan ada juga yang hobi dugem. Jangan heran. Di dunia yang serba bisnis ini, ternyata masih ada saja yang gratis, yaitu: klaim. Orang tak pernah shalat tak mau diprotes keislamannya, bahkan yang memuja nabi palsu pun merasa berhak mengklaim dirinya Muslim. Nasib tasawuf kurang lebih seperti itu juga. Semua orang merasa berhak menggunakannya.

Buya Hamka adalah salah satu tokoh besar yang pernah menggunakan istilah “tasawuf”. Meski menggunakan label tasawuf, jangan kira beliau hidup menyendiri di tempat yang jauh dari peradaban. Beliau bahkan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk memberikan kontribusinya sebagai seorang ulama. Beliau juga tak takut untuk ‘bersenggolan’ dengan dunia politik, dan karena sikap politiknya, ia dimusuhi Orde Lama dan Orde Baru.

Ada juga yang menggunakan nama “tasawuf” dengan mengucapkan (atau lebih tepatnya meneriakkan) asma-asma Allah sebagai wirid hingga ribuan kali, bahkan puluhan ribu kali. Jika sedang berkumpul, mereka mengenakan sorban semuanya, lengkap dengan gamisnya yang lebar-lebar. Mereka juga punya ritual sendiri yang nampaknya cukup ‘memusingkan’, yaitu tari-tarian yang terdiri dari entah berapa kali putaran (catatan: dalam bahasa Minang dan Melayu pada umumnya, “berpusing” memiliki makna yang sama dengan “berputar”).

Ada aliran tasawuf yang mengirim ‘pesan damai’ kepada setiap umat beragama, sehingga mereka berkesimpulan bahwa surga itu punya banyak pintu, dan masing-masing umat beragama akan masuk surga melalui pintunya masing-masing. Herannya, mereka sama sekali tidak berteori tentang ‘pintu-pintu neraka’ dan kepada siapa pintu-pintu tersebut disiapkan.

Ada yang menyebut dirinya tasawuf dengan mengesampingkan hampir semua ajaran Islam. Shalat tak perlu lagi, karena diri seorang sufi (katanya) sudah menyatu dengan Dzat Allah. Shaum tidak relevan lagi, karena sehari-harinya memang jarang makan. Zakat tak perlu lagi, karena harta tak ada, pekerjaan pun tak punya lantaran sibuk menyepi dengan Tuhan. Naik haji tak perlu lagi, karena sudah bersatu dengan Allah, maka thawaf bisa diganti jalan-jalan keliling rumah sendiri.

Jangan bingung, karena jaman sekarang ini sebagian aliran yang menyebut dirinya tasawuf sudah menjadi agama sendiri. Syariat bisa direvisi asal hapal semua wirid-wirid ajaran sang guru, bisa berpusing tanpa cepat pusing, dan selalu mengingat-ingat wajah sang habib ketika sedang berdoa. Kalau berdoa tanpa ingat wajah habib, itu sama saja dengan buka e-mail tapi lupa password, alias tidak akan ada respon. Zina boleh, asal ada kontraknya. Tidak boleh ada yang klaim surga sendiri, tapi melupakan neraka ya sah-sah saja. Minum-minuman keras, dugem sampai pagi, main cewek, apa pun dosa yang dilakukan sehari-hari, tak masalah. Yang penting saat berkumpul bisa khusyuk 100% (entah bagaimana mengukurnya). Namanya juga makhluk yang sudah bersatu dengan Sang Khaliq. Logikanya beda jauh.

Sekali fenomenal tetaplah fenomenal. Ahmad Dhani adalah fenomena, apa pun yang ia lakukan. Sejak rajin mendalami ajaran tasawuf, ia semakin sering menggunakan istilah-istilah yang ‘religius’. Kadang muncul pula tarian-tarian sufi dalam videoklipnya, bahkan ada juga lagu yang menggunakan istilah ‘munajat’. Di sisi lain, ia juga bertanggung jawab penuh terhadap grup vokal Dewi-Dewi yang gemar pamer aurat dan goyang pinggul, juga artis lama bernama baru, yaitu Mulan Jameela yang tidak lebih baik. Mungkin inilah yang disebut “energi kesalehan dan energi kemaksiatan” yang menurut Ulil Abshar Abdalla hanya bisa tumbuh dalam lingkungan sekuler.

Kembali pada pertanyaan semula: apa gunanya tasawuf? Segala keputusan Anda (yang mau melangkah ke dalam ‘dunia tasawuf’) haruslah bergantung pada jawaban atas pertanyaan ini. Kalau hanya ingin menolak syariat, tak mesti ikut tasawuf. Kalau hanya ingin cari pembenaran untuk dugem, tasawuf bukan satu-satunya jalan. Kalau ingin merasa hati tentram dengan amal yang sangat minim (dengan kata lain: menipu diri sebelum malaikat maut menjemput), masih banyak jalan lain.

Jadi, untuk apa ikut tasawuf? Semua itu tergantung definisi mana yang ingin Anda gunakan. Tasawuf ala Buya Hamka yang ‘biasa-biasa saja’, tasawuf yang hobi wirid dan menari-nari, tasawuf yang menebar klaim tentang surga dan neraka, tasawuf yang anti-syariat, atau tasawuf yang membuat Anda merasa serba boleh?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

[Sepengetahuan penulis di http://multiply.com/mail/message/akmal:journal:642]

Senin, 07 Januari 2008

Al-Baqillani dan Penyimpangan Aliran-aliran dalam Islam

Kajian Kitab Turats:
Al-Baqillani dan Penyimpangan Aliran-aliran dalam Islam
(Studi Analitis terhadap al-Insaf fi ma yajibuI'tiqaduhu wa la yajuzu l-jahlu bihi)

SINOPSIS >>

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, banyak bermunculan aliran-aliran dan ragam pemikiran yang menyimpang. Sebagai contoh, dalam kitab Maqalatal-Islamiyyin, Imam al-Asy'ari menjelaskan aliran-aliran yang menyempal dari Islam, seperti Syi'ah yang terpecah hingga 39 sekte, Zaidiyah 6 sekte, Khawarij 35 sekte, Murji'ah 12 sekte, kemudian Mu'tazilah, Jahamiyah dsb. Selanjutnya di bagian kedua, beliau membahas pemikiran aliran-aliran dalam akidah, filsafat, politik dan fikih. Seperti perdebatan dalam masalah pergerakan bumi yang mencakup 4 pendapat, kesejatian dan hakekat manusia 4 pendapat, makna gerak dan diam, tentang indera, apakah suara itu kekal, hakekat tempat, dsb. Berkat kegigihan para ulama dan pengabdian mereka yang tulus, banyak aliran-aliran tersebut yang berguguran dan kehilangan pengikut, atau paling tidak menjadi aliran yang minoritas dalam tubuh Islam pada saat ini. Kegigihan para ulama dalam membina umat dengan menghidupkan tradisi ilmu-ilmu keagamaan, membongkar kesesatan sebuah aliran, baik dengan pena maupun debat terbuka, akhirnya dapat membersihkan parasit-parasit dalam akidah.

Di antara sekiran banyak ulama yang berkhidmat demi kepentingan agama dan umat itu adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn al-Qasim al-Baqillani (w. 403H/1013M); seorang imam dan hakim terkenal kelahiran Basra dan menetap di Baghdad. Al-Baqillani dikenal sebagai seorang ulama bermadzhab Maliki dan cendekiawan yang ulung. Karyanya banyak membahas aliran-aliran sesat yang berkembang di masanya, seperti Rafidhah, Mu'tazilah, Khawarij, Jahamiyah dan Karamiyah. Di masjid Basra, beliau membina halaqah kajian yang dijubeli para pecinta ilmu. Sebagai ulama yang produktif, setiap harinya, beliau menulis 35 lembar dari buku yang hendak dikarangnya. Tidak mengherankan jika di saat wafatnya, Sheikh Abul-Fadhl al-Tamimi (w. 410H), ulama terkemuka dan pemimpin mazhab Hanbali kala itu, berseru di samping jenazahnya: "Orang ini adalah pembela al-Sunnah dan agama, serta pejuang shari'ah. Orang inilah yang menulis 70.000 lembar buku sepanjang hidupnya". Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa beliau adalah mutakallim (theologian) yang paling utama dalam aliran al-Asha’irah. Ibn ‘Asakir berkata: "Sesungguhnya Sheikh Abu al-Qasm ibn Burhan al-Nahwi berkata: Barang siapa pernah menghadiri halaqah perdebatan al-Qadhi Abu Bakr, maka dia tidak akan pernah merasakan lagi indahnya perkataan seorang pun setelahnya, baik dari ulama kalam, ulama fiqh, orator, penyair maupun penyayi sekalipun, dikarenakan tutur bahasanya dan kefasihannya yang menakjubkan dan sistematis."

Di antara hasil pemikiran beliau yang paling utama adalah peletakan premis-premis rasional untuk membangun argumentasi temporalnya alam dan sifat-sifat wajib Allah, kemudian premis-premis ini dikembangkannya hingga menjadi teori khas dan dikenal sebagai metode kalam para mutakallim klasik. Teori tersebut disebut mabda' al-ta’akus bayna l-dalil wal-madlul (an inversion between thing and meaning). Al-Baqillani meninggalkan sekitar 52 karya, diantaranya adalah al-Insaf fi ma yajibu I'tiqaduhu wala yajuzu l-jahlu bihi. Menilik dari judulnya, buku tersebut ditujukan untuk masyarakat awam dan bersifat populer, yang menjelaskan tentang apa yang wajib diyakini oleh umat dan tidak boleh untuk tidak diketahui (diabaikan). Tema-tema yang dibahas sangat mendasar; seperti:

Muqaddimah
Wujub al-nazhar (kewajiban berfikir/menalar)
Alam itu fana
Keesaan Pencipta
Sifat Hayat
Sifat Qudrah
Sifat Ilmu
Sifat Iradah
Sifat Sam'un
Sifat Kalam
Sifat Baqa'
Semua yang fana adalah makhluk
Perbedaan antara Iradah dan Masyi'ah
Kasbul 'Ibad (usaha manusia)
Arzaqul 'Ibad (rizki manusia)
Islam dan Iman
Khairul Ummah
Syuruthul imamah (syarat pemimpin)
Kalamullah (Firman Allah)
Ru'yatullah (melihat Allah)

Apa sesungguhnya usaha al-Baqillani yang dikembangkanuntuk masyarakat umum dalam kajian akidah di masanya?
Bagaimana metode yang digunakan?
Adakah perbedaan masyarakat awam di masa al-Baqillani dan sekarang?
Bagaimanakah perkembangan pembahasan akidah setelah masa al-Baqillani?

Silahkan mengikuti ulasan lebihlanjut dalam diskusi sabtuan INSISTS:

Pemakalah: Henri Shalahuddin, MA (Peneliti INSISTS)
Waktu: Sabtu, 12 Januari 2008 – Jam: 10:00 S/D 12:00 WIB
Tempat: INSISTS – Institute for The Study of Islamic Thoughtand CivilizationJl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta Selatan
Tlp. 021-7940381 SMS Centre: 08111102549
Peserta Terbatas Untuk Maksimal 40 orang.

Menghapus Catatan Gelap Poligami

Assalaamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,
Alhamdulillah, akhirnya terbit juga buku yang berisi tanggapan dan sanggahan serta pelurusan atas penyesatan opini dan argumentasi buku Bahagiakan Diri dengan Satu Istri (BDDSI) tulisan Cahyadi Takariawan.
Ustad D Amaruddin, penulis Menghapus Catatan Gelap Poligami (MCGP) ini bukanlah sosok 'sekaliber' Cahyadi Takariawan seperti dia akui sendiri dalam bukunya, dan yang menjadikannya salah satu alasan dia 'nekat' menulis buku ini, tapi pemahaman dan ilmu serta 'flying clock' -- meminjam istilah dari Tukul Arwana -- atawa 'jam terbang' beliau dalam dakwah nampaknya cukup mampu untuk menunjukkan dan meluruskan pendapat sumbang isi buku Bahagiakan Diri dengan Satu Istri.
Isi buku MCGP ini sederhana, jauh dari gaya penulisan buku BDDSI, yang ditulis memang oleh orang yang telan menelurkan banyak buku dan dalam memberi taushiyah dan konseling problema rumah tangga jauh lebih 'komunikatif.' Tapi saya merasa karena ketulusan dan keikhlasan penulisnya, apa yang dia paparkan sangat mudah diterima dan tidak terlalu mengernyitkan kening. Artinya tidak kalah 'gaul' dalam segi penyampaian dengan BDDSI.
Banyak logika sederhana tapi sangat mengena yang digunakan penulis MCGP dalam meluruskan dan menyuguhkan data pembanding yang lebih kompehensif dan akurat, yang di buku BDDSI terkesan dimanipulasi dan didistorsi untuk memenuhi hajat penulisnya. Penulis MCGP menghadirkan deretan ayat-ayat dan riwayat yang utuh dan relevan sehingga menjernahkan alur logika yang oleh BDDSI dibuat melenceng dan lepas dari makna sesungguhnya. Logika sederhana ini, plus sedikit nada keras dan 'madura-an' dari ust Amiruddin yang hemat saya memberi nilai lebih pada buku ini.
Niat penulis MCGP adalah juga untuk menegur sesama aktivis dakwah kaliber nasional yang dalam argumennya di BDDSI ini menjadi amunisi berharga buat kalangan liberal dan feminis dalam 'mengharamkan' salah satu hukum Allah yang mulia dan penuh hikmah ini, sekaligus memastikan bahwa penulis BDDSI ini segera bertaubat dan meralat opininya yang -- menurut penulis MCGP -- lebih vulgar dan kasar dari Prof Musdah Mulia dalam bukunya Islam Menggugat Poligami dan dari karya lain para anti-poligami baik dalam dan luar negeri.
Selebihnya, silakan miliki dan baca buku ini, atau hubungi LSM 'Adil untuk mendapatkannya. CP yang bisa dihubungi adalah ibu Adzkia atau abu mustofa , di 021-91558582 atau 081574045086.
Selamat membaca...!
Wassalaamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Jumat, 04 Januari 2008

Beda Takwil Dengan Hermeneutika


Ustadz Fahmi Salim adalah cendekiawan Muslim yang baru saja menyelesaikan studinya di Pascasarjana Universitas Al-Azhar Kairo. Selain memperoleh predikat summa cum laude, beliau juga merupakan orang pertama yang mendapat gelar master dalam bidang hermeneutika. Hermeneutika adalah ilmu yang digunakan di Barat untuk (mencoba) memahami Bibel. Ilmu ini dibutuhkan karena Bibel dan teologi Kristen secara umum memiliki banyak permasalahan. Ironisnya, dosen-dosen studi Islam di Indonesia banyak yang latah menyebarkan ajaran hermeneutika yang sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur'an. Melalui artikel ini, Ust. Fahmi Salim akan menjelaskan perbedaan yang sangat besar antara takwil dan hermeneutika dengan cara sesederhana mungkin. Berikut ini kami tampilkan edisi lengkapnya, sebelum diedit oleh Redaktur surat kabar Republika, tempat artikel ini dimuat.

Oleh : Fahmi Salim, M.A.


Belum lama ini terjadi pencekalan Prof. Nasr Hamid Abu Zayd ketika akan tampil di seminar internasional yang diadakan oleh Universitas Islam Malang, Jawa Timur. Abu Zayd terkenal dengan metode hermeneutik, yaitu penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi pengarangnya. Saya tidak akan menyoroti peristiwa pencekalan itu secara sosiologis-politis. Sebab yang menarik bagi saya justru pernyataannya dalam wawancara singkat dengan majalah Tempo menjelang kepulangannya ke Belanda setelah dicekal tampil di Malang. Dengan sangat mengejutkan, sang Profesor dalam wawancaranya itu tidak dapat membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang di Barat. (rubrik Agama, Tempo Edisi. 42/XXXVI/10 - 16 Desember 2007)

Nasr Hamid dalam wawancaranya mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan terminologi. Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat al-takwil. (lihat 'Adil Musthafa: Fahmu al-Fahmi Madkhal ila al-Hermeneuthiqa, Ro'yah for Publishing & Distribution, 2007). Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna - al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).

Beda Takwil dengan Hermeneutika
Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat.
Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.

Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara ada" (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal: (1) Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran, (2) Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.

Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.

Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.

Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para ulama muslim selama kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan. Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan cakrawala ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas realitas hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang jauh dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.

Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai pihak 'terzalimi' dan 'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu; "mengangkat nilai tafsir" dan "menginjak, meremehkan nilai takwil", menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi 'Ulumil Qur'an)
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya sebagai pakar Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara bahasa, adat dan syar'i) , yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.

Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam 'Ulumul Quran klasik tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang lebih berpihak kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari deklarasi HAM ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau "gosong" (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih dari itu untuk mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang tanpa batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).

Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal
Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd). Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak (murâwaghah) dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal (perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan kedua, tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga 'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan dan kekayaan pengalaman hidupnya.

Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.

Suatu Hari Natal Orde Baru (renungan)

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6040&Itemid=62

Senin, 24 Desember 2007

Lama rasanya saya berdoa dalam shalat. Tapi, bagaimana caranya menunjukkan sikap bahwa saya karyawan baik, berjilbab satu-satunya tapi tak dianggap anti-toleransi?

oleh Santi Soekanto*

Hidayatullah.com--Suatu pagi di bulan Desember, sekian tahun silam. Orde Baru dan Presiden Soeharto masih sangat berjaya. Pemerintahan tunggal Golkar-ABRI bukan saja berhasil membuat kaum Muslimin takut ber-Islam tetapi bahkan malu mengaku Muslim.

Saya bergegas masuk ke kantor tempat saya baru saja mulai bekerja sebagai wartawan sebuah koran di Jakarta, menaiki tangga sempit menuju lantai 2 bangunan sederhana di sebelah gedung megah perusahaan penerbitan terbesar di Indonesia. Saya membuka pintu newsroom dan berhadapan langsung dengan sebuah pohon Natal raksasa di tengah ruangan. Begitu besar dan tingginya pohon tersebut sehingga pucuknya bukan sekedar menyentuh langit-langit namun bahkan melengkung dan tertekuk. "Ooops…" ujar saya, lalu berpaling kepada sekretaris pemimpin redaksi, seorang Muslimah keturunan Arab yang tidak berhijab.

''Natalnya masih lama Mbak…tapi sudah dipasang ya."

"Ya memang begitu,'' ujarnya dengan suara biasa saja.

Maka sejak hari itu sampai sekian waktu sesudahnya, saya bekerja di bawah naungan (dan keluar masuk newsroom melingkari) pohon Natal besar itu. Dari waktu ke waktu saya lihat hiasannya bertambah, dan Mbak SekRed ikut membantu menambahkan. Dari waktu ke waktu saya lihat kesibukannya menerima dan mendistribusikan kiriman kartu dan hadiah Natal, baik yang ditujukan kepada Pak PemRed maupun staf lainnya.

Sampai tiba pengumuman akan dilangsungkannya perayaan Natal di kantor pada suatu sore; seluruh karyawan diharapkan hadir untuk bersalam-salaman dengan mereka yang merayakan Natal. Ada makanan dan minuman disediakan. Di sore itu, saya kembali dari liputan di DPR sekitar waktu Ashar. Begitu masuk kantor, suasana meriah sudah terlihat. Orang lalu lalang dan turun naik membawa makanan dan minuman di tangan dari dan ke lantai 2 tempat berlangsungnya acara. ''Apaan tuh?'' tanya saya berlagak bego.

"Makan-makan Mbak," jawab seorang petugas kebersihan berseragam hijau. ''Banyak banget makanannya."

"Emang ada apa?"

"Kan Natalan."

"Ooh…" sahut saya lalu bergegas menuju mushala, sebuah ruangan sementara dengan dinding tripleks bercat putih di lantai dasar. Saya shalat lamaaaaaaaa….sekali. Bukan karena saya orang shalih lho, tapi karena saya bingung. Maklum, ilmu agama cuma sedikit, tapi otak saya sudah mengingatkan kembali bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim mengucapkan selamat hari Natal atau ikut dalam perayaan-perayaannya, sementara hati saya pun sudah menjerit, "Jangan naik ke atas, jangan bergabung dengan mereka."

Tapi, bagaimana caranya menunjukkan sikap ini tanpa menimbulkan masalah tambahan bagi saya? Saya ini karyawan percobaan, satu-satunya wartawan berjilbab di sebuah koran yang didominasi kaum Nashara. Saya harus menghadapi tantangan dobel: membuktikan bahwa saya Muslimah pintar dan berprestasi di kantor, sekaligus sabar menghadapi diskriminasi terhadap Muslimah berjilbab di Indonesia saat itu. Masa saya masih harus menambahkan cap ekstrimis dan radikal serta anti-toleransi beragama karena tidak mau ikut Natalan, ke dalam gerobak masalah saya?

Saya memperlama shalat saya karena saya berdoa dulu, minta petunjuk Allah tentang bagaimana sebaiknya bersikap. ''Ya Allah, apa sebaiknya saya keluar kantor saja lagi ya? Bilang saja, mau wawancara narasumber kek. Ah, tapi tadi sudah ada sejumlah teman non-Muslim yang melihat saya datang. Gimana dong ya Allah?''

Selama-lamanya shalat dan berdoa, kan tidak mungkin terus menerus. Akhirnya selesai juga shalat dan munajat saya, sementara saya masih dalam keadaan bingung. Saya duduk bersandar lamaaa…sekali di dalam mushala. Silih berganti para lelaki Muslim (yaitu pegawai cleaning service berseragam hijau) masuk untuk shalat Ashar (sementara para karyawan lain yang mengaku Muslim sudah ramai tertawa-tawa makan minum di atas). Ada seseorang yang bertanya, ''Mbak nggak ke atas?''

''Nggak ah,'' jawab saya. Lalu, nggak tahu dari mana asalnya, tapi kayaknya dari Allah, terlontar dari mulut saya. ''Kan Muslim nggak boleh menghadiri perayaan Natal. Haram kan?''

Si petugas kebersihan itu terdiam sejenak. Tangannya mengusap-usap wajahnya yang masih basah oleh wudhu. "Jadi kita nggak usah ke atas?''

Saya tahu biasanya petugas cleaning service baru berani mengambil makanan dalam acara makan-makan sesudah kaum elit (misalnya, PemRed, Direktur-direktur, Editor, Reporter) menghabiskan sebagian besar hidangan. Tapi saya jawab juga, ''Kalau saya sih nggak ah. Di sini aja ah. Sampai pesta selesai.''

''Gitu ya Mbak?''

''Ya lah.''

Tak lama kemudian, masuk seorang karyawan yang lebih senior daripada saya, seorang lelaki Muslim. Siap-siap shalat.

''Nggak ke atas Mas? Selama ini, bagaimana Anda bersikap pada kesempatan seperti ini?''

Dia memahami maksud pertanyaan saya. Lalu dia menjelaskan panjang lebar pergulatan batinnya pada saat-saat seperti itu; di satu pihak, ada unspoken rule bahwa semua karyawan, tidak perduli agamanya, harus mengikuti perayaan Natal karena bukankah karyawan Nashara juga ikut dalam perayaan Idul Fitri? Di lain pihak, dia pun tahu bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim ikut perayaan Natal.

Karena si Senior tampak bimbang, saya malahan menjadi lebih berani. ''Ya sudah Mas. Di sini saja. Sampai selesai.''

Itulah yang saya lakukan, ngumpet di mushala sampai perayaan Natal selesai. Begitu saya bersiap-siap mulai membuat berita, ada seseorang menyodorkan sepiring kecil berisi kue coklat yang tampaknya lezat sekali. ''Ini, aku sisihkan untuk teman yang tadi nggak hadir,'' katanya. Saya berterimakasih namun menolak. ''Maaf, saya ndak boleh makan ini.''

''Kenapa sih? Diet ya?" tanya si teman, matanya menyelusuri gamis longgar saya.

''Nggak. Itu kue Natal. Saya Muslim, nggak boleh ikutan Natal dan berarti juga nggak bisa ikutan makan kue-kuenya,'' saya menjawab dengan nada ''dibiasa-biasain'' saja. Padahal jantung berdentam-dentam cemas karena yang menawari kue sangat dekat dengan PemRed yang Kristen itu.

Masih dengan gaya sok biasa, saya menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin lalu pulang. Dalam waktu singkat, seperti saya duga, sejumlah teman segera tahu bahwa saya ''mengharamkan'' ikut perayaan Natal. Meski bukan saya yang ''mengharamkan'' lho, tapi fatwa MUI dibawah pimpinan Almarhum Buya HAMKA.

Seorang teman, perempuan non-Muslim, menandai sikap saya ini. Suatu kali dalam kesempatan meliput bersama (maksudnya, saya ingin nebeng mobilnya), dia menanyakan hal itu dan saya jawab apa adanya. "Bagi Muslim haram hukumnya menghadiri perayaan Natal.''

Tiba-tiba saja dia menjawab, "Tahu nggak sih kamu, menurut agamaku, aku tuh nggak boleh bergaul sama kamu. Sebagai 'anak-anak terang', kami sebenarnya nggak boleh bergaul dengan kalian…''

Saya tidak tahu, apakah dia ingin mengatakan "tapi aku tetap bergaul denganmu karena aku bertoleransi'' ataukah dia ingin mengatakan "aku berani melanggar larangan agamaku karena pekerjaanku mengharuskan aku bergaul dengan yang bukan anak-anak 'terang'?'' Yang terlintas di pikiran saya malahan ini: "Apa ya, lawan katanya 'anak terang'? Apakah 'anak gelap'?''

Tapi yang muncul dari mulut saya (yang mudah-mudahan karena dituntun oleh Allah Ta'ala) adalah ini, ''Lho, saya nggak apa-apa kok, kalau kamu nggak mau bergaul denganku. I'm only practicing my faith, Islam, so if you wish to observe your religious teaching, by all means, please do so. Saya melaksanakan iman Islam saya, jadi kalau kamu juga mau menjalankan agamamu, lha monggo.''

Teman saya ini hanya tersenyum kecil dengan gayanya yang cool. Lalu mengambil kunci mobil dan membukakan pintu bagi saya. ''Ayo naik,'' katanya, dan kami pun berangkat meliput.

Tak terasa setahun terbang begitu cepat, datang lah Desember berikutnya. Saya sempat memikirkan kembali bagaimana cara melarikan diri dari kantor pada waktu itu. Tetapi suasana kantor malahan adem ayem. Tak ada orang menggotong-gotong pohon Natal raksasa yang sampai mentiung karena tingginya. Hanya ada satu pohon Natal ukuran sedang di ruangan PemRed.

Dengan suara "dibiasa-biasain'' saya hampiri Mbak SekRed. ''Nggak ada perayaan tahun ini Mbak?''

''Nggak. Nggak ada perayaan Natal. Nggak ada perayaan Idul Fitri,'' katanya.

''Ooh…''

"Saya tidak tahu bagaimana akhirnya pihak manajemen, yang dipenuhi orang-orang Kristen taat, sampai pada keputusan itu dan mengapa. Emangnya gue pikirin? Yang penting, saya tidak usah bimbang lagi. Dalam hati saya berseru, ''Allahu Akbar! Nggak apa-apa nggak ada perayaan Idul Fitri di kantor! Enakan makan ketupat dan sayur pepaya masakan emakku di rumah!'' [www.hidayatullah.com]

* penulis seorang wartawan dan ibu rumah tangga, tinggal di Depok.

PS: Terima kasih buat mba Santi buat tulisannya yang 'memorable' ini. Saya salin-tempel sebagaimana adanya dari situs Hidayatullah.com

Rabu, 02 Januari 2008

Selamat Natal: Kelahiran Yesus atau Isa a.s.? (bag. 1)

[Bagian 1]

as-salaamu 'alaikum warahmatu-alLaahi wabarakaatuh,

Hampir dipastikan menjelang akhir tahun, menuju hari ke-25 di bulan ke 12 tarikh Masehi, Desember, akan muncul pro dan kontra tentang seputar Natal, utamanya di kalangan ummat Islam di tanah air. Hampir semua penduduk Indonesia yang mayoritas muslim tahu 'Hari Natal'. Betapa tidak, hampir sepanjang ingatan saya (saya seangkatan dengan Chicha Koeswoyo, Eep Saefullah Fattah dan Ustad Arifin Ilham), spanduk-spanduk dan media cetak lainnya di beragam media di ruang publik pasti memenuhi hampir setiap mata memandang dengan ucapan "Selamat Natal dan Tahun Baru bla bla bla". Belum lagi acara televisi dengan beragam program plus selingan iklan yang berisi atau sarat muatan senada, bahkan hingga mentrasformasi para pegawai (yang saya yakin mayoritasnya adalah muslim) pusat perbelanjaan yang tadinya rata-rata rapih 'berjilbab' sontak menjadi bertopi sinterklas!

Indonesia adalah negeri berpenduduk mayoritas Muslim tapi, tidak seperti negeri lain yang juga mayoritas Muslim, secara de facto sangat toleran pada tradisi dan budaya kafir, dalam hal ini yang berasal dari gereja: penanggalan, rumah-rumah ibadah (termasuk katedral tuan dan megah di tengah ibukota!), aksara, bahkan nama hari - Minggu (bukan Ahad!) yang juga hari libur dalam sepekan (kecuali Ibukota, karena ketambahan hari Sabtu sebagai akhir pekan), termasuk menghormati hari raya warga berkeyakinan lain sebagai hari libur nasional. Indonesia juga negeri muslim yang paling lama dijajah ummat kafir kristiani Eropah: tiga ratus lima puluh tahun! Tapi tentu ini bukan bentuk toleransi 'positif' seperti disebut sebelumnya.

Nah, dengan fakta toleransi ummat Islam seperti ini, ternyata ada sebagian kalangan gereja, ummat kristiani yang masih meminta lebih: ummat Islam bersedia juga memberi ucapan selamat Natal kepada ummat kristiani! Luar biasa beradab dan santunnya ummat Islam di Nusantara ini. Saya katakan 'ada sebagian kalangan gereja, ummat kristiani' karena ternyata dari berbagai sumber kristiani dan eks-kristiani saya dapati informasi bahwa tidak semua merayakan Natal pada tanggal 25 Desember, atau perayaan Natal bagi sebagian kalangan krisitiani dari denominasi tertentu itu tergantung pada usia ummatnya! Jadi, di saat kalangan kristiani sendiri tidak satu suara, mengapa ummat Islam jadi dipaksa untuk 'tunduk' pada sebagian saja dari kalangan kristiani yang merayakan Natal pada 25 Desember tiap tahun masehi?

Adian Husaini membahas panjang lebar konteks seputar Natal ini di situs hidayatullah.com (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6058&Itemid=60) dan hampir segera mendapat 'sambutan' di blog minhaj-ul-aqilin (http://minhaj-al-aqilin.blogspot.com/2007/12/nota-buat-adian-husaini.html) yang ownernya mengaku sebagai penulis dan peneliti independen Muslim, juga 'mirror'-nya, blog ruzbihanhamazani.wordpress (http://ruzbihanhamazani.wordpress.com/2007/12/30/nota-buat-adian-husaini/). Tapi saya tidak akan membahas apa yang ditulis Adian Husaini dan minhaj-al-aqilin aka ruzbihanhamazani. Bukan karena saya tidak tertarik, tapi karena ingin mengambil pokok bahasan lain, yaitu apakah Natal itu hari kelahiran Yesus atau hari kelahiran Isa al-Masih, mengingat masih ada sebagian kalangan Muslim yang menyamakan antara sosok Yesus dalam tradisi gereja kristiani dan sosok Nabi Isa as dalam tradisi Islam, dan bahkan menyamakan antara perayaan Natal Yesus dan Maulid Muhammad s.a.w sekadar untuk membolehkan 'partisipasi' dalam Natal!

Menarik memang saat kita melihat betapa antara tradisi kristiani dan Islam ada sejumlah irisan (dan poin ini jadi entry buat klaim pihak gereja dan orientalis untuk menuduh bahwa Islam 'menjiplak' tradisi Kristen!), di antaranya setidaknya nama-nama 'tokoh' yang muncul pada Bible -- Injil versi Isa as sudah tidak ada lagi mengingat demikianlah pernyataan Allah yang mencap ummat kristiani telah mengubah isi Injil -- dan pada Al-Qur'an. Salah satunya adalah Yesus dan Isa. Lepas dari masalah bahasa, saya akan menggunakan Yesus dalam mengacu pada sosok 'sang juru selamat' yang lahir dari rahim istri Joseph di sebuah 'kandang' di Jerusalem pada tradisi kristiani dan Isa al-Masih atau Isa as dalam mengacu kepada Nabi dan Rasul Allah yang lahir dari rahim perawan mulia Maria as, putra Zakaria as, di bawah pohon kurma. Dari poin ini terlihat jelas perbedaannya.

Perbedaan antara dua tokoh yang memiliki banyak kesamaan ini penting karena ini akan menjelaskan alasan mengapa ummat Islam tidak memiliki ruang untuk bisa menghormati dan mengucapkan selamat atas kelahiran Yesus, lepas dari kontroversi internal di kalangan ummat kristiani tentang siapa sesungguhnya Yesus dari Nazareth ini, dan kapan persisnya tanggal lahirnya serta sederet hal lain hingga kini tidak bisa ada titik temunya. Sebagai muslim, saya tentu berusaha sebisa mungkin untuk tidak praduga melainkan menggunakan sumber dari kalangan kristiani yang sudah umum sifatnya dan mudah di dapat baik secara online atau selainnya.

Menurut wikipedia, pada entry 'christmas' disebutkan bahwa:
"Christmas is an annual holiday that celebrates the birth of Jesus. It refers both to the day celebrating the birth, as well as to the season which that day inaugurates, which concludes with the Feast of the Epiphany. The date of the celebration is traditional, and is not considered to be his actual date of birth. Christmas festivities often combine the commemoration of Jesus' birth with various cultural customs, many of which have been influenced by earlier winter festivals. Although a Christian holiday, it is also observed as a cultural holiday by many non-Christians."
Natal itu hari perayaan kelahiran Yesus, dan tanggal perayaan ini bukanlah tanggal kelahiran sebenarnya melainkan sekadar sebuah tradisi. Artinya tidak ada yang pasti atas tanggal kelahiran Yesus. Selanjutnya disebutkan bahwa:
"The majority of Eastern Orthodox churches celebrate Christmas on January 7 which is December 25 in the Julian Calendar. Many Eastern Orthodox churches do not recognize the Gregorian Calendar which was implemented by a Catholic Pope. Around the world, Christmas Day is celebrated on December 25. Christmas Eve is the preceding day, December 24."
Dengan demikian, tanggal 25 Desember bukanlah satu-satunya 'tanggal tradisional' dalam perayaan kelahiran Yesus, karena gereja-gereja Kristen Ortodoks Timur merayakannya pada tanggal 7 Januari (menurut kalender Gregorian) sesuai kalender mereka sendiri yang bersamaan dengan 25 Desember menurut kalender Julian sebab gereja-gereja Kristen Ortodoks Timur tidak mengakui Kalender Gregorian yang diterapkan oleh Paus Katolik yang sekarang berlaku internasional. Wikipedia meneruskan:
The Armenian Apostolic Church observes Christmas on January 6.
Gereja Apostolik Armenia merayakan Natal pada tanggal 6 Januari.

[bersambung]